Seni Tuntut Menuntut

Dijejali banyak tuntutan hidup bukan hanya dirasakan orang dewasa yang sadar. Sejak kanak-kanak–bahkan orok–kita yang terlahir sebagai manusia tidak akan pernah lolos dari tuntutan hidup. Bayi misalnya, dituntut untuk beradaptasi dengan dunia baru, setelah dunia sebelumnya. Anak-anak, dituntut untuk berperilaku baik lewat pengajaran formal dan non-formal. Remaja, dituntut untuk bersosialisasi dengan kawan. Dewasa, dituntut untuk melebur dengan masyarakat. Lansia, dituntut untuk mempersiapkan kehidupan “selanjutnya”.

Siapa yang menuntut? Pertanyaan yang akan muncul di benak Anda saat pertama membaca paragraf di atas. Dan pertanyaan klasik itu bukan untuk dijawab, melainkan untuk dipahami dan terus ditanyakan oleh diri kita sendiri. Karena pada dasarnya, segala pertanyaan yang ada di muka bumi adalah sumber jawaban itu sendiri.

Kembali ke konteks “dituntut” dan “menuntut”. Pada masa yang terus berputar, pada siklus hidup yang tidak akan berhenti walau sejenak, tuntutan selalu mengiringi. Secara sadar seseorang akan dibawa dalam arus tuntut menuntut ini tanpa tahu apa dan mengapa melakukan.

Bagai terputus dari kesadaran, beberapa orang pada akhirnya mencapai tahapan cukup gila di mana ia memilih untuk menolak tuntutan dan mengalpakan menuntut. Mereka yang memilih untuk menjadi diri secara utuh tanpa intervensi dunia–yang di sini saya lebih suka menyebutnya dengan “kehidupan sosial”. Ya, setuju atau tidak, tuntut menuntut ini berporos pada lingkaran hidup bersosial, yang selama hayat dunia akan terus terjadi dan merupakan prasyarat (atau seolah-olah begitu) untuk hidup. Bekerja, di dalam angkot, supermarket, bioskop, kafe. Semua bekerjasama bersosialisasi untuk dapat membentuk aktivitas.

Namun para orang gila ini, berteguh pada keyakinan jika mereka merasakan hidup yang sungguh hidup dengan cara berjalan di atas kaki sendiri. Meminimalisir sosialisasi dengan hal lain, tanpa mengesampingkan hak dan kewajibannya sebagai “sang hidup”. Ada yang kemudia menemukan kesejatian, ada yang masih terus terbawa arus. Dalam tahap ini, nilai tuntut menuntut menjadi fluktuatif, juga relatif. Tergantung bagaimana ia memaknainya.

Atau konkritnya, saat seseorang memilih lepas dari deretan tawaran kerja yang akan membuat hidup “aman” sampai tua dengan beraneka sistem dan hierarkinya, dan memilih untuk menemukan potensi dan menemukan diri sendiri, dengan legawa. Tanpa tuntutan, tanpa menuntut.

Pada akhirnya, perangkap tubuh dan jiwa manusia adalah satu-satunya alasan mengapa ada pro dan kontra, bagus dan jelek, kaya dan miskin, gaul dan cupu, hidup dan mati. Yang paling diri ini idamkan adalah di mana mampu bekerja dalam kesadaran penuh sebagai manusia, bukan robot, dan mampu memberikan tanda pada orang-orang di masa depan jika diri ini pernah ada di masa lalu.

– 21 Januari 2017. Jangan tanya saya lagi ngapain sekarang.

 

[Inspired after red “Kokou No Hito” or “The Climber”, a manga about self, consciousness, and mountain by Sakamoto Sinichi]

Leave a comment